Sabtu, 05 Oktober 2013

Time will heal

Lima tahun. Dan dia masih tak bergerak. Sergapan penyakit itu perlahan-lahan merontokan tubuhnya. Membunuhnya dalam diam.

Kebisingan pesisir Bali seakan sanggup menelan bulat-bulat penderitaannya.
Tanpa teman.
Tanpa lembaran halaman.
Ia menyerahkan kulit pucatnya kepada panasnya matahari.
Berharap mati.
Dengan cara yang paling ia nikmati.
Terlelap di pantai ini.

"You want surf ma'am?" seorang berbadan tegap hitam bertanya di hadapannya menghalangi mataharinya.
Untuk kesebelas kalinya ia harus memberikan senyuman sambil menggelengkan kepalanya kepada salah satu penjajak papan seluncur pantai ini.

"Where do you come from ma'am, Japan? Thailand?" Tanya pria itu tak mau enyah dengan tolakkan halusnya.

"Jakarta, bli" ujarnya sambil tersenyum.

"Ohh..." Jawabnya yang langsung memutuskan duduk disampingnya.
Saat itu ia sedang ingin sendiri,  enggan berkomunikasi.
Tanpa ia sadari justru kesendiriannyalah yang mengundang banyak mata ingin menemani.
"Refreshing atau kerja?"
"For both!" Jawabnya dengan mata terejam terhalang oleh kacamatanya.
"For how long?"
"Senin saya pulang" 

"Sendiri di pantai memang bagus untuk menggilangkan stress"
Kali ini ia hanya menimpali dengan melekukan bibirnya. Berusaha tersenyum.

Ada jeda panjang sebelum si penjajak papan seluncur itu kembali menariknya untuk bercakap-cakap.

"Tidak suka basah-basahan?"

"Nope. Saya suka. Hanya sedang tidak ingin aja."

"Iya lah, mana ada diver yang benci basahnya air laut"

Sedikit terkejut, ia pun menegakkan kepalanya.

"Cuman karang laut yang bisa bikin goresan sepanjang itu" ujar sang penjajak papan seluncur menunjuk ke salah satu luka di betisnya.

"Saya tenang tiap lihat isi laut"

"Lukanya sepadan dengan keindahannya ya"

"Yap!" Jawabnya diiringi dengan gelak tawa pertamanya di pantai ini.

"Memang suka sendirian?"

"Saya memang jarang punya teman"

"Oh ya?"

"Lagipula saya senang menghabiskan waktu dengan diri saya sendiri. Enggak deh! Saya memang sudah tergila-gila pada diri saya sendiri" ujarnya sambil bercanda.

"Haha. Menarik"

"Menarik? Atau gila?"

"Sakit, mungkin lebih tepatnya. Semoga Kuta bisa sembuhin kamu ya, mbak" ujar si penjajak papan seluncur.

Ia hanya balas dengan senyuman.

"Banyak orang yang mencari ketenangan ke sini, padahal yang mereka butuhkan justru kesembuhan"

Ia diam menyimak penjabaran si penjajak papan seluncur.

"Tapi ia harus mau terima dulu penyakitnya. Dan siap untuk disembuhkan"

Kali ini ia tidak tersenyum. Ia sedang malas di ceramahi.

"Memang saya terlihat jelas sedang sakit?"

"Tidak sehat! Tapi bisa disembuhkan kok"

"Oh ya?"

"Let time heal. Not kill. That simple"

Kali ini ia kembali tersenyum. Tapi lebih terlihat bahagia. Ia dan si penjajak papan seluncur terlihat asyik berbincang. Tanpa ia sadari matahari sudah cukup turun membuat si penjajak papan sluncur mengajaknya minum di sebuah bar di jalan Poppies. Ia pun tahu kalau si penjajak papan seluncur bernama Iwan.

"Ayo lah kita senang-senang. Tertawa. Menangis. Its okay to be sad. But allow yourself to feel allright. Lihat , kulitmu sudah tidak sepucat tadi. Sudah lebih terlihat hidup."

"Ini matahari yang bakar kulit saya"

"Matahari buat kamu terlihat hidup"

Dalam perjalanan, telfon yang selama ia kantongi berdering. Seakan melihat sang enciptanya, ia pun memutuskan berhenti melangkah dan menjawab panggilan.

Iwan melihatnya mengangkat telpon dari jarak beberapa meter di depannya. Iwan lihat ada senyuman. Tangisan. Lalu gelak tawa. Iwan seperti melihat apapun jenis penyakit yang menghinggapinya perlahan-lahan pergi. Iwan melihatnya menutup telfonnya, dan dengan langkah berat ia menghampiri Iwan.

"Wan... I am ready to be alive. Again"

Iwan menatapnya dengan skeptis...

"Are you sure? Its gonna be..."

"... Hurt. Sad. Jealous. Pain. Cry. Laugh. Happy. Fly. Lets do that all over again"

"Wow.. Congratulation. First round is my treat!"

Ia pun mengarah kesebuah bar dengan bendera Australia di depannya.

Suara gelak tawa dari beberapa turis Australia dan dentingan gelas yang beradu membaurkan suara langkahnya dengan Iwan.

Langkah pertamanya menuju kematiannya. Ya. Telfon tadi bukanlah telfon yang membebaskannya dari penyakitnya. Tapi setidaknya kini ia sudah  menerimanya. Menerima kalau dirinya telah kehilangan waktu. Tapi kali ini ia tidak akan membiarkan dirinya kehilangan kehidupannya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar