Sabtu, 04 Mei 2013

WORSE THAN DEATH



"Apa yang terjadi juga udah lewat.
Hampir sepuluh tahun lamanya..."

that's someone inside me keep telling me. Tapi itu enggak menghentikan tangan saya untuk memutuskan telepon saat nada dering pertama terdengar.

Tuuuuut.

Saya tak bergeming dan menunggu.

"Ok. Stop it!
Both of you in love that time,
We see it,
everybody see it,
he see it,
he just don't know how to handle it,
neither do you,
so stop it,
you ruin everything"

Nada dering kedua terdengar lebih panjang dari yang pertama. Kali ini jatung saya berdegup lebih kencang dibandingkan sebelumnya. Napas saya terasa lebih berat untuk ditarik dibandingkan sebelumnya.

"you hurting yourself,
stop it,
hung up that phone"

"This is must end" teriak saya dalam hening. Kali ini ketegangan saya menghasilkan bulir airmata. Tiap tetesnya terus mengalir tanpa isakan tangis. Untuk kedua kalinya.

Saya merasa saya sudah cukup dewasa untuk bilang ke Kamu kalau saya pernah mencintai Kamu. Persisnya sepuluh tahun yang lalu. Dan Kamu harus tahu itu. Kamu harus tahu satu-satunya alasan saya meninggalkan Kamu karena saya enggak sanggup memiliki perasaan sehebat itu. 

Saya hanya perempuan biasa, saya mungkin pernah satu atau dua kali menjalin hubungan sebelum bertemu Kamu tapi saya enggak pernah merasakan hal ini. Saya enggak pernah merasakan kecewa dan bahagia dalam satu waktu yang bersamaan. Saya merasa malas dan semangat di satu waktu yang sama. Dan saya enggak sanggup merasakan itu.

Maka dari itu saya harus lari.
Lari sejauh mungkin kaki ini bisa membawa saya.
Sejauh mungkin dari Kamu.

Kali ini dering telepon berubah menjadi suara Kamu yang berat. 

"Hallo" ujar Kamu. Dari suara Kamu, saya seakan bisa melihat bagaimana kerongkongan kamu berdeham sebelum melempar kata. Kacamata Kamu yang melorot di hidup kamu yang mancung di balut dengan kulit hitam yang legam. 

"Hallo" ujar Kamu untuk kedua kalinya.
"Hai" ujar saya
"Hai" jawab Kamu
"Kita harus ngobrol. Aku butuh ketemu dan ngobrol sama Kamu hari ini juga"
"Soal?" Tanya Kamu dengan nada sangat datar.
"Everything?"
"What everything we will talked about? Do we even have a thing?" ujarmu dengan grammar yang sempurna membalas semua kata-kata saya. Seakan mencemooh, mengajari, entahlah, saya suka ketika Kamu mulai terganggungu dengan ketidakberaturannya tata bahasa saya. Dan saat saya rasa Kamu hanya akan mengganggu pengguna bahasa Inggris, 3 Tahun yang lalu Kamu habiskan waktu untuk belajar dan mengganggu orang Russia dan Jerman lewat antusiasme Kamu dengan tata bahasa. Menyebalkan tapi menyenangkan untuk disaksikan.

"I don't know!" ujar saya. Bodoh. Saya tahu. Saya bisa membayangkan Kamu menggelengkan kepala Kamu saat saya menjawab ini. Karena menurut Kamu saya mudah menyerah dengan argumentasi dan keinginan saya dan melimpahkan semua kesimpulan dan keputusan kepada lawan bicara dengan menjawab "enggak tahu"... "i don't know"

untuk beberapa detik hanya ada suara kosong di telepon tanpa ada satupun dari kita yang bergeming. Tidak bicara dan hanya diam tapi tidak satupun dari kita terdorong untuk mengakhiri pebincangan ini.

Aku menarik napas panjang. Menarik oksigen lalu mengembalikannya sekuat mungkin ke udara.

"Kamu enggak..." ujar Kamu

"Do you ever think that might be, used to be, we have a thing?" ujar saya memotong apapun yang ingin Kamu katakan.

"Kamu enggak akan mau mendengarnya lewat telepon"
"That's why i asked you to meet me, in here, in the very first place you ask my phone number, please come visit me, you know where it is"
"I think whatever happen or feel in the past, it should belong in the past, don't you think we should move on or something"
"yes, we should, and that the only way for me to move on, please! do it for me"
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sudah sepuluh tahun rasanya saya tidak pernah merasa sesenang ini saat melihat salah satu handphone saya berbunyi. Di pagi yang cukup dinginnya kota Lembang, deretan angka yang sudah stuck di otak saya sejak sepuluh tahun yang lalu menghangat seluruh tubuh saya yang menggigil.

Saya ragu untuk mengangkat, terlebih lagi terakhir kali deretan angka saya jawab, saya dengar suara Kamu berbicara, tapi nada suaramu perih sekali. Itu menyakitkan saya. Karena setelah itu saya tidak pernah tahu kenapa Kamu begitu tersakiti, dan terlebih lagi Kamu langsung melarikan diri, bersembunyi. Dan menganggap saya mati.

Tapi itu sepuluh tahun yang lalu. Mungkin kali ini Kamu sudah anggap saya sepenuhnya hidup kembali. Mungkin ini saatnya saya hidup kembali. Sambil menarik napas sesaat, saya pun memutuskan untuk mengangkat panggilan Kamu.

Suara Kamu masih sama khawatirnya seperti sepuluh tahun yang lalu. Trembling, dry, anxious. Kamu enggak pernah memberikan saya waktu, kesempatan, dan jalan agar saya bisa memahami Kamu. Mendadak kamu menutup seluruh diri Kamu dan meninggalkan saya sendiri. Lebih tersakiti.

Tapi diakhir telepon Kamu memohon. Itu jelas bukan kebiasaan Kamu. Kamu cukup tegar untuk tidak mengemis kepada siapapun untuk apapun. Kamu cukup stabil untuk terus terlihat sehat di saat tersakit. Suara kamu yang khawatir, permintaan Kamu yang cukup aneh, saya sudah cukup membaca banyak novel dari cinta, misteri, hingga sci-fi mulai dari penulis Russia yang penuh moralitas,yang menegangkan, hingga Roman Inggris yang romantis. Dan segala keanehan ini hanya menyimpulkan saya pada satu ha... Ya Tuhan, apakah Kamu akan mengakhiri hidup?

Mungkin kamu tegar untuk menghadapi masalah,
Kuat menghadapi cobaan,
Tapi sejak sepuluh tahun yang lalu saya tahu kalau kamu merupakan orang yang paling mungkin mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri

"Aku enggak pengin hidup lama-lama,"
"Kalau udah enggak bisa berkarya kayaknya bagusan mati aja,"
"Semua pasti mati, cuman enggak tahu kapan, itu yang membuat orang selalu cemas ditiap pagi dan merasa harus istirahat di malam hari. Semua orang takut mati. Tapi kalau kita sendiri sudah punya niat untuk mati setiap hari, saya rasa hari-hari akan lebih mudah dijalani"
"Pasti menyenangkan ya, kalau mati nanti, semua pertanyaan kita sudah terjawab. Seenggaknya kematian kita akan lebih tenang dan lebih gampang dari sebelumnya,"

semua kata-kata Kamu mendadak berputar di kepala saya.
Mungkin enggak sih, pernyataan saya menjadi pertanyaan terakhir yang ingin dia dengar sebelum mati.
Mungkin enggak sih saya adalah misteri terakhir, penenang di kematiannya.


Pikiran saya berkecamuk.
Semua reaksi saya mulai disebabkan karena panik.
Saya takut.
Bukan karena saya sayang sama Kamu.
Perasaan itu sudah Kamu bunuh dan cabik-cabik hingga mati sejak 4 tahun yang lalu.
Tapi mungkin saya terlalu tergantung dengan kamu.
Dengan memori Kamu. Memori Kita.
Seakaan hidup saya terbagi dua era antara Pra-Kamu dan Pasca-Kamu.
Dan keduanya  sama-sama buruk.
Karena kedua era tersebut saya hidup tanpa Kamu.

"Oke, i know where it is (no, i am not only know it, i memorize it every single thing happen to that time) just wait for me, like two hours. I'll drive from Bandung"

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Wait for two hours. I have been waited for ten years, exhausted, depressed, i don't know if two hours i still have enough time

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sudah siang saat saya sampai di gedung ini. Gedung yang dulunya sempat menjadi tempat menimba ilmu ini sudah berubah jadi pusat acara dan bisnis. Dengan keunggulan memiliki beberapa aula yang besar, gedung ini terkenal sebagai tempat untuk melakukan seminar, acara perpisahan sekolah, dan juga tentu saja perkawinan.

Lift lobby belakang menjadi tujuan saya. Gedung dengan tinggi langit-langit yang mencapai 15 meter ini menggemakan tiap langkah kaki saya. Ternyata di bagian lobby belakang tidak seramai di lobby depan yang penuh dengan promo seminar dan pesta pernikahan. Saya rasa tempat ini sebentar lagi tidak akan seramai sekarang jika Kamu benar-benar akan mengakhiri hidup Kamu di sini. Bahkan mungkin akan menjadi trauma tersendiri bagi pasangan pengantin yang sedang melangsungkan pesta pernikahan saat ini. Bayangkan saja sekujur mayat ditemukan saat pesta pernikahan si A dan B berlangsung. Pasti akan menjadi pernikahan yang sangat dikenang oleh semua tamu yang datang.

Saya tahu, saya tidak seharusnya berpikir Kamu akan bunuh diri. Tapi saya rasa, orang seperti kamu tidak mustahil untuk melakukan itu. Dan saat ini saya hanya ingin merilekskan diri setelah dua jam berkemudi dengan panik dan tegang. Saya merilekskan diri dengan melihat dari sisi positif atau yang menyenangkan dari kecemasan ini.

Langkah kaki saya makin keras bergema ketika saya benar-benar sampai di lobby belakang.
Saya melihat sosok Kamu nampak terduduk di lantai tepat di tembok tengah  kedua lift yang ada di kanan kiri Kamu.

Dan Kamu...
Kamu nampak lebih buruk dari yang saya bayangkan...
Saya menghentikan langkah saat saya melihat Kamu
Saya membalikan badan dan tidak bisa lagi menahan airmata
Air mata yang mungkin sudah satu dekade tertahan dibalik bola mata
Segala perasaan yang ada seakan meledak saat itu juga.
Penyesalan, rasa bersalah, semuanya menjadi satu

"Saya terlambat" ujar saya dalam hati.

"Hei" suara manis kamu memanggil saya.
Saya tidak berani menolehkan wajah saya.
Saya masih memunggungimu.
Saya terlalu takut untuk menerima kalau semua ini adalah kenyataan.
Saya terlalu takut melihat Kamu....
....dan tubuh Kamu yang terbalut dalam anggunnya gaun putih pengantin.
Saya terlalu takut untuk tahu... kalau saya akan benar-benar kehilangan Kamu... dengan cara seperti ini.

"Hei" jawab saya dengan suara yang agak parau dan masih memunggungi Kamu.

Saya tidak tahu dan tidak paham apa yang akan terjadi setelah ini.
Tapi saya tahu pasti kalau saya merasa lebih bahagia kalau saja Kamu mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar