Kamis, 07 Maret 2013

Just Stop

"How to you know when to stop?"

itulah kata-kata yang jadi personal message dari salah satu teman (mantan) kantor saya.
(yap, saya sudah keluar pekerjaan lama saya)

Gimana sih caranya kita tahu waktu untuk berhenti?
in my personal opinion, only God know precisely (booo, Gita, booo, what a ugly opinion)
I know it seems silly opinion, not because i don't believe in God, i'm just kind of person not easily "blame" something (like God) to anything (like know when to stop), but in this case i really mean it.

Biar saya jelaskan dengan contoh apa yang baru aja saya alami,
Dimulai dari pekerjaan pertama saya, my first professional job as a journalist,

Saya akui saya senang bukan kepalang waktu tahu saya diterima dipekerjaan lama saya.
Bayangin aja saya bisa diterima di majalah yang cukup terkenal, berkantor di tempat pusat Jakarta, mendapatkan gaji yang cukup lumayan untuk fresh graduate lulusan komunikasi, intinya saya suka dengan apa yang saya dapatkan.

Sampai akhirnya saya mengetahui job desk saya.
Menyenangkan, saya bahkan sangat menyukainya.
Tapi here we goes, saat ekspektasi user enggak bertemu dengan apa yang saya hasilkan.

Mereka menargetkan 4 tulisan sehari dengan ekspektasi saya bisa menulis lebih dari yang ditargetkan.
Mereka mengharapkan tulisan sempurna tanpa kesalahan, sebagai fresh graduate yang (kurang dari) enam bulan bekerja saya cukup sering melakukan kesalahan.
Entahlah, menurut mereka saya enggak memenuhi ekspektasi mereka setelah enam bulan bekerja dan mereka punya hal untuk memutuskan kontrak saya.


(teman-teman kantor saya sempat enggak percaya: "they fired you because you don't do what they expected? what? i even rarely reach the target", "they fired you because of typo? i still do typo and i am two months earlier that you", "they think you not competitive? neither do we", "seriously Gita? Are you just made this up so you can runaway from your job?" Sadly no. Even when i realize when my job is just little bit.... too much... like 14 tweets a day *not include the adv*, 4 article a day *not include adv, or event*, 5 idea a weak *which is i always give more that 6 idea plus i have to give 2 idea for prints too*, yeah it just... pffttt.... little bit... to much... not big deal...)


Di satu sisi saya sedih,
karena harus meninggalkan: "Halo saya Gita, saya reporter majalah X" dan reaksi orang "ooooo" dengan nada yang membuat kita bangga mendengarnya.
karena harus mengikhlaskan 3 juta sekian per bulan.
karena harus kehilangan teman-teman yang sudah seperti sahabat saya sendiri.
karena harus menerima kalau saya bukan orang yang mereka cari.

Di sisi lain saya senang, senang karena saya diberi waktu untuk merasakan "nganggur". Karena sepanjang sejarah kuliah menuju pekerjaan ini, jujur saya sama sekali enggak ada waktu untuk "nganggur".

saya senang saya dikasih kesempatan untuk belajar langsung secara professional bagaimana jadi penulis yang teliti, pencari ide tulisan feature yang kreatif, social media admin yang interaktif, menjadi orang yang peka terhadap persaingan media, walaupun saya belum sempurna menjadi semua yang mereka harapkan saya senang bisa mendapatkan kesempatan secara langsung.

Kalau diingat-ingat lucu juga sih,
lucu karena kalau diingat-ingat saya enggak pernah naro lamaran saat saya mendapat panggilan pekerjaan ini.

Saya waktu itu lagi di depan laptop ini, ngetik revisi akhir skripsi saya, lagi mengira-ngira nama siapa saja yang akan saya masukan ke dalam lembar "terima kasih" dan tiba-tiba handphone saya berbunyi.
Suara di sebrang menanyakan lamaran saya untuk majalah remaja yang ada di mejanya. Saya enggak ingat pernah ngirim lamaran ke mereka, tapi saya ingat kalau saya salah satu "mahasiswa beasiswa" yang mempunyai "kesempatan" bekerja di perusahaan pemberi beasiswa selama setahun. Well, mungkin emang ini salah satu realisasinya, jadi saya jawab "iya,iya, he eh, he eh". Lalu perempuan disebrang lalu membeberkan apa aja yang harus saya persiapkan.

Pada saat itu saya ingat saya sudah mempersiapkan liburan ke Bali bersama teman saya merayakan kelulusan saya. Tapi karena sebelum saya ke Bali saya sudah dapat kerjaan ini, akhirnya tiket 500ribu pulang pergi saya ke Bali terpaksa hangus sudah. and for the record itu merupakan ke dua kalinya saya menghanguskan tiket perjalanan liburan saya, what a pity.

Dan saya mendapatkan pekerjaan yang saya enggak pernah apply dan berakhir penuh sendu mengakhir pekerjaan saya tersebut.

Singkat cerita,
how to know when to stop?
enggak ada yang tahu.
Yang saya tahu ada yang lebih Maha untuk merencanakan tahu kapan waktu paling terbaik untuk memulai dan kapan untuk untuk selesai.
Mungkin si "Maha" ini merasa "Ok, Gita, you seems already got what you need, now, let me bring you to another journey, the journey to what we've been planned since long time ago"

Kata mama saya yang bijak, mungkin kalau saya masih dipekerjaan lama, mungkin saya lengah dengan apa yang sebenarnya saya cita-citakan dan enggak akan punya waktu untuk menggapainya.

Mungkin saya akan sibuk menjadi gimana caranya jadi Editor, Redaktur Pelaksana, PemRed, Best Employee, atau lebih buruknya lagi sampai-sampai yang saya inginkan hanya tetap bisa bekerja di kubikel saya dan merasa cukup dengan apa yang saya kerjakan dan miliki sampai-sampai saya tidak sadar umur saya sudah 40 tahun, single, belum punya rumah pribadi, mobil pribadi, atau lebih buruk lagi masih tinggal di rumah orang tua, dan tidak pernah sedikitpun terbesit untuk kuliah S2 ataupun pergi dan menjadi New Yorker (*New Yorker adalah sebutan bagi seseorang yang tinggal dan hidup di New York selama lebih dari 10 tahun- Carrie Bradshaw).

Yes, that's my dream! my goal! my destiny! and i know it's silly, you can laugh, i don't mind i even laugh right now. LOL.

You know what, after 3 days of denying, it's painful to say goodbye to the person, the place, the job you actually start to love, but after 3 days being literary procrastinator and lazy ass girl, i finally accept it. And for the record, I even not say goodbye to all my job mate because i don't have a gut to say it. But i realize, say it or not, i already not part of them.

So, how to know when to stop? you don't know. But when you know it has to stop, you have to believe its a good time to stop.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar