Jakarta - Pelantun lagu Sk8r boi asal Kanada ini kembali menggunacang Jakarta. Kali ini balai kartini yang dipilih menjadi tempat penampilannya dalam rangkaian world tour concrete nya yang bertajuk "Black Star".
Minggu, 15 Mei 2011
Avril memukau Jakarta (Lagi)
Jakarta - Pelantun lagu Sk8r boi asal Kanada ini kembali menggunacang Jakarta. Kali ini balai kartini yang dipilih menjadi tempat penampilannya dalam rangkaian world tour concrete nya yang bertajuk "Black Star".
Kamis, 17 Maret 2011
Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah)*
Rabu, 16 Februari 2011 | 07:12 WIB
TEMPO Interaktif, Pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad SAW menerima surat dari seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad). Dalam suratnya, Musailamah berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad, utusan Allah. Saya adalah partner Anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya menjadi wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu….”
Seperti dituturkan ahli tafsir dan sejarawan muslim terkemuka pada abad ketiga Hijriah, Imam Ibn Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja) atau yang dikenal sebagai Tarikh al-Tabari, Musailamah bukanlah sosok yang sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa bulan sebelum berkirim surat, Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas kerasulannya. Delegasi inilah yang kemudian membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.
Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru, apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak tertandingi. Mekah saja, yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi, jatuh ke pelukan Islam. Yang dilakukan Rasul hanyalah mengirim surat balasan ke Musailamah:
“Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad, utusan Allah, ke Musailamah sang pendusta (al-kazzab). Bumi seluruhnya milik Allah. Allah menganugerahkannya kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Keselamatan hanyalah bagi mereka yang berada di jalan yang lurus.”
Rasul menempuh dakwah dengan cara persuasi dan bukan cara kekerasan. Musailamah memang dikutuk sebagai al-Kazzab, tapi keberadaannya tidak dimusnahkan.
Namun, setelah Nabi wafat, ceritanya jadi lain. Umat Islam yang masih shocked karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain, seperti Al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As’ad, menyatakan menolak membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah.
Abu Bakr lalu melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang menurut dia telah merongrong kedaulatan khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal sebagai “perang melawan kemurtadan (hurub al-ridda).”
Tampaknya, “perang melawan kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah tanpa disertai pemahaman yang mumpuni terhadap duduk perkaranya. Penyerangan brutal di Banten minggu lalu, yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah, secara luas memang telah dikecam bahkan oleh banyak kalangan muslim sendiri, entah dengan alasan menodai citra Islam yang damai, merusak kerukunan beragama, atau melanggar hak asasi kaum minoritas. Tapi bagi para pelaku penyerangan dan yang membenarkannya, seperti FPI, apa yang mereka lakukan semata-mata demi membela Islam dari noda pemurtadan. Jemaah Ahmadiyah dianggap telah murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan karena itu mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam.
Ironisnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteri Agama, dan pihak-pihak yang mengaku tidak menyetujui anarkisme terhadap Ahmadiyah, yang terus memaksa agar Ahmadiyah menjadi agama baru di luar Islam, sebenarnya juga memakai pendekatan “perang melawan kemurtadan” secara gegabah. Dalam hal ini, perbedaan MUI dan Menteri Agama dengan kaum penyerang Ahmadiyah hanya terletak dalam hal metode, tapi tidak dalam tujuan. Saya sebut ironis karena majelis ulama, yang berlabel “Indonesia” di belakang, ternyata merubuhkan prinsip kebinekaan Indonesia. Ironis karena seorang menteri yang merupakan hasil pemilu demokratis ternyata mempunyai pandangan yang melenceng dari konstitusi demokratis yang menjamin hak setiap warga menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Yang paling ironis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan saja semua itu terjadi.
Lepas dari itu, kalau kita tinjau dari sudut doktrin dan sejarah Islam pun, pemakaian kerangka “perang melawan pemurtadan” untuk menyikapi Ahmadiyah sejatinya sama sekali tak berdasar. Patut diingat, sebutan “perang melawan kemurtadan” bukanlah kreasi Abu Bakr sendiri, melainkan penamaan belakangan dari para sejarawan muslim. Disebut demikian barangkali karena yang diperangi saat itu memang arus pemurtadan yang terkait dengan munculnya sejumlah nabi palsu. Dan gerakan nabi palsu pada masa itu berjalin berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan kekhalifahan. (lalu muncul pertanyaan di otak kecil saya, apakah kemunculan ahmadiyah menghancurkan kedaulatan Indonesia?-red)
Penolakan membayar zakat bukan hanya pelanggaran terhadap rukun Islam, tapi juga sebentuk aksi makar. Ini karena, berbeda dengan ibadah salat yang hanya melulu menyangkut hubungan hamba dan Tuhannya, urusan zakat berkaitan dengan negara. Tambahan pula, para nabi palsu tersebut juga membangun kekuatan militernya sendiri. Musailamah, misalnya, menggalang tidak kurang dari 40 ribu anggota pasukan untuk melawan pasukan muslim dalam perang Yamamah, sampai-sampai armada muslim di bawah Khalid bin Walid sempat kewalahan pada awalnya. Karena itu, perang Abu Bakr melawan kemurtadan mesti dibaca sebagai sebuah tindakan yang lebih bersifat politis ketimbang teologis, yakni berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok pemberontak.
Karena itu, “perang melawan kemurtadan” versi khalifah Abu Bakr tidak bisa begitu saja diterapkan dalam konteks Indonesia sekarang. Taruhlah memang jemaah Ahmadiyah telah murtad karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tapi bukankah sejauh ini mereka belum pernah membangun kekuatan militer untuk merongrong umat Islam dan pemerintahan yang sah seperti Musailamah pada masa khalifah Abu Bakr? Bukankah sejauh ini warga Ahmadiyah hanya menuntut untuk diberi ruang menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya? Kalau memang begitu, apakah tidak keliru kalau mereka diperlakukan seperti para pemberontak? (pertanyaan pun terjawab)
Ditinjau dari perspektif kaidah fiqh “hukum berporos pada alasan”, gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu pada masa Abu Bakr memang wajib diperangi, karena saat itu kemurtadan identik dengan pemberontakan yang mengancam kedaulatan khalifah dan integrasi umat. Adapun kalau sekadar murtad saja tanpa dibarengi pemberontakan, hukum yang berlaku tentu tidak sama. Pada titik inilah kita bisa mengacu pada peristiwa korespondensi antara Nabi Muhammad dan Musailamah seperti saya paparkan di awal tulisan.
Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan dalam melihat pokok soalnya. Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang metodologi hukum Islam, keputusan yang muncul dan tindakan yang diambil mungkin saja tampak sesuai dengan ajaran syariat, tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid al- syari’ah (tujuan-tujuan syariat) yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia.
Lagi pula, satu-satunya dalil Al-Quran tentang kemurtadan sama sekali tidak menyeru kaum muslim untuk memerangi kaum murtad semata-mata karena kemurtadannya. Simaklah Surat Ali Imran ayat 90. Ayat ini tidak menyinggung soal perlunya menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan terhadap si murtad, karena Tuhanlah yang akan menjadi hakim atas perbuatannya di akhirat nanti.
Dalam kerangka Qurani semacam inilah kita bisa mengerti kenapa Nabi tidak menghukum Musailamah, yang tanpa tedeng aling-aling mengaku sebagai nabi. Bukan karena beliau mendiamkannya--toh Nabi melabelinya dengan gelar “Al-Kazzab”. Menurut saya, nabi bersikap seperti itu karena, dalam Al-Quran, hukuman terhadap si murtad memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang bertugas menyampaikan risalah Ilahi. Beliau bukan Tuhan yang turun ke bumi. Itulah sebabnya Al-Quran menegaskan tidak ada paksaan dalam agama.
Kalau Nabi saja demikian sikapnya, alangkah lancangnya Front Pembela Islam (FPI), MUI, dan Menteri Agama yang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap murtad seperti terlihat dalam sikap mereka terhadap jemaah Ahmadiyah. Di sinilah saya kira umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti cara-cara FPI, MUI, dan Menteri Agama, atau meneladan sikap Rasulullah.
*)
Akhmad Sahal, Kader NU, kandidat PhD Universitas Pennsylvania
http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2011/02/16/kol,20110216-324,id.html
*Niatnya saya sih mau bikin tulisan kayak gini buat tugas Jurnalisme Online saya yang soal Ahmadiyah di Indonesia, tapi yaa sudahlah biarkan kandidat PhD Universitas Pennsylvania duluan deh yang bikin tulisan sekeren ini*aduh apasih gw* :P
Selasa, 14 Desember 2010
Another day to learn
Walaupun masih ada aja kurangnya (yaaahhh, manusiawi bgt lah ni tempat, gak akan pernah jadi sempurna. Apalagi desainnya aja udah keliatan banget berniat nyontek toko buku universitas tetangga). Komputernya yang gak all access, jendelanya yang besar membuat tempat ini lebih panas dari ruangan parkir sekalipun (ahaha, gak lah yaaa lebaayyy) ini iya, soalnya kalo matahari diluar lagi senewen, suhu tempat ini juga ikutan ikutan gak asik (tersinggungan kali yak kayak gw! ahaha). Tapi pagi ini suhu ruangannya asik kok, matahari juga gak keliatan, malah rintik ujan yang nongol. ehe
Tumbenan banget gak sih saya pagi-pagi udah diperpus terus nulis blog pulak.
Bukan ini bukan karena saya rajin atau mau sok-sok pintar.
Ini karena, pagi ini saya ada kelas jam 9 tapi udah nyampe kampus jam 8 pagi.
Mau kekelas udah pasti belum ada orang, mau bbm-an ngajak yang lain kesini tapi bb aja gak punya, yaudah saya nongkrong disini aja.
Cerita ngalor ngidul gak jelas aja kali ya, biar keliatan ni blog gak pasif-pasif amat (aahahahah).
ohh ya, sebelum ni komputer nyala (sumpah dah lama banget nyalanya) saya liat-liat/ nyari-nyari buku yang menarik buat jadi bahan tulisan saya kali ini (biar gak kosong-kosong amat isinya, ehe, kan tulisan gak mesti mencerminkan isi otak si penulis. ehe)
Saya kelilingin rak buku ampe tujuh kali (udah kayak tawaf aja) dan saya tertarik oleh sebuah buku "TOY STORY" The Art and Making of the Animated Film by John Lasseter (director of Toy Story) and Steve Daly. Saya tertarik sama buku ini soalnya gambar covernya kayak 3 dimensi gitu, danjuga emang saya ngefans banget sih sama toy story.
Di buku yang luasnya 60x30 cm ini (kayaknya, pokoknya gede bgt deh!) berisi yaaaa soal proses pembuatan film animasi gitu deh! Tapi dikata pengantarnya ada kata-kata yang saya pribadi suka:
"i have found that part of my job is to educate, inform, and inspire the people working on the film, but more often than not, I am the one who is informed, educated, and inspired by everybody else's work"
kita kadang suka ngerasa "paling-" saat kita udah berada disuatu posisi yang memimpin, paling boleh ngatur karena udah paling tahu. Padahal mungkin kita adalah orang yang paling butuh bantuan untuk sekedar melakukan hal yang paling sepele.
Saya sebenarnya mau ngerujuk ke pemerintahan kita saat ini. Presiden kita yang tercinta ngerasa boleh ngatur-ngatur adat luhur yang ada di daerah istimewa jogja, karena ngerasa dirinya paling berwenang untuk melakukan hal itu (walaupun memang benar adanya). Tapi sekarang coba deh ya kita kembalikan memori sejarah kita ke beberapa puluh tahun kebelakang, saat negara kita masih dijajah kolonial. Jogja merupakan satu-satunya daerah yang tidak dijajah oleh Belanda, justru Belanda banyak bekerjasama dengan kesultanan jogja, memberikan pendidikan ke Jogja (kalo kalian nonton sang pencerah pasti tau deh asal mula Budi Oetomo),dsb. Makanya mereka disebut istimewa. Waktu terjadi penyerangan oleh Belanda ke Indonesia, dan Republik Indonesia menjadi Serikat, dan ibukota Indonesia pindah ke jogja juga dengan alasan Belanda tidak akan menyerang jogja.
Nah, memang segala keistimewaan jogja itu berlaku pada masa lampau. Tapi mungkinkah segala keistimewaan itu mau begitu saja dilepaskan begitu saja hanya karena negara kita tidak menganut sistem monarki. Mungkin sebagai negara tidak, tapi jika daerah-daerah didalamnya ada yang menganut sistem itu (dan rakyatnya sejahtera dengannya) apa salahnya kan?
Itu dia yang mungkin agak dilupakan oleh Presiden kita tercinta, beliau merasa dirinyalah yang harusnya "to inform, inspire, educate" tanpa diasadari kalau dirinyalah yang sebenarnya harus "informed, inspired, and educated" dari orang-orang disekelilingnya.
waaaaahhh! kenapa tulisan saya jadi kolom tentang Jogja begini yaaa?
yaudahlah gak papa, lumayan buat tugas pak James.
Sekarang udah jam 8.49, perpus juga udah mulai rame. 9sebelah saya aja ada izzul yang asik mainan bb*sirik)
Yaudah deh saya siap-siap mau kekelas dulu.
Matakuliah ini saya gak boleh banget terlambat, soalnya kaloo telat hukumannya harus nyanyi depan kelas.
Merendahkan martabat banget gak sihhh?
ehe
yasudahdeh sekian dulu
makasih banyak yaa, yang udah mau baca ampe kalimat ini kelar, God bless you! ehe.
Kamis, 22 April 2010
Think out of the box




2. Specer Tunick, wahhh kalo doi sihh beneran orang gila. beneran out of the box. saya sendiri udah gak tau lagi mau bilang apa. GENIUS. BRILIANT. Biin ribuan orang mau difoto telanjang tanpa harus terlihat PORNO (menurut saya lho!)pada setiap hasil fotonya


Minggu, 14 Maret 2010
Me, Myself And I
AKU DAN BUDAYAKU
Komunikasi Antar Budaya mengantarkan kita kepada suatu perkenalan diri kita dengan budaya kita. Tidak hanya itu, budaya juga mengajak kita mengenal lebih dalam siapakah diri kita. Karena dengan mengetahuinya, kita akan memahami sifat-sifat alamiah dan sifat-sifat ang mungkin diturunkan dari budaya kita. Berikut adalah pemaparan budaya yang selama ini menempel pada diri saya.
Pertama-tama saya akan memperkenalkan diri saya. Nama Saya GitaAdinda. Anak Pertama dari 2 bersaudara. Saya mempunyai seorang adik laki-laki yang bernama Hanifan Awanda. Saya dan adik saya berbeda usia 6 tahun.
Saya lahir sebagai Muslim. Karena orang tua saya Muslim dan saya sudah dididik di instansi pendidikan Muslim dari TK hingga SMP (cukup lama untuk membuat saya mengenal dan yakin dengan agama yang saya anut). Pada waktu saya SMA, saya ingin bersekolah di sekolah Negeri, maka waktu SMA saya, saya habiskan di SMA Negeri 2 Tangerang. Entah karena otak saya hanya mampu sampai SMA saja di Negeri, atau memang secara alamiah saya memang tertakdir menjadi “bocah swasta”, saya tidak mampu menembus PTN yang pada saat itu sangat saya impikan (FISIP UI, Ilmu Komunikasi UI). Tapi, untungnya kegagalan saya masuk PTN membawa saya ke UMN ( merupakan satu-satunya Universitas Swasta yang saya ikuti tes pendaftarannya, karena sangking yakinnya masuk PTN).
Patut saya akui, semenjak masuk kedunia perkuliahan membaca buku adalah kegiatan favorite saya setelah browsing internet dan menonton televisi. Jangan, salah paham dulu, saya bukanlah heavy viewer seperti yang dipaparakan oleh George Gebner dalam Cutivation Theory yang memiliki waktu menonton lebih dari 4 jam sehari. Saya termasuk orang yang memilah-milah acara televisi yang saya tonton. Acara favorite saya tentu saja berita, berita current issue dan berita-berita politik apalagi. Dan juga acara televisi yang mengangkat sisi kemanusiaan dari sebuah kejadian seperti Oprah Show, Kick Andy, dan Mata Najwa juga menjadi acara favorite saya. Yah, tidak mau munafik saya juga penggemar acara televisi, Opera Van java, heheh.
Berbeda halnya dengan membaca buku, saya adalah pembaca segala jenis macam buku bacaan. Dari novel karangan Raditya Dika (yang ringan, lucu, dan nyeleneh) sampai Paulo Coelho (yang berat, romantic, dan realistis). Banyak novel yang saya baca, beberapa saya suka, dan selebihnya saya lupa (ini serius). Pelupa sudah menjadi penyakit saya dari dulu. Dan, tidak jarang ini mengundang orang-orang disekitar saya me-labelling saya dengan istilah lemot, bahkan yang lebih sadisnya lagi Kopong. Tapi, sebenarnya itu tidak menyinggung hati saya, malah saya lebih concern untuk memperbaiki kelemahan saya ini. Beberapa teman saya bahkan pernah ada yang mengkhawatirkan ke-pikunan saya sebagai tanda awal Alzheimer, tapi ada yang bilang juga kalau saya hanya kurang berkonsentrasi. Apapun itu, saya setiap harinya selalu berusaha untuk lebih baik lagi.
Oh ya, saya juga suka menggambar, tidak di buku gambar atau dikanvas, tapi di kulit tangan (mengapa harus tangan? karena agak susah untuk menulis di kulit kaki apalagi dikulit ketiak, heheheh).Dan anehnya, gambar saya itu hanya bagus kalau digambar di tangan, mendadak jadi tidak bagus kalau saya gambar di kertas. Apakah ini artinya saya berbakat menjadi tattoo artist? tapi tattoo itukan haram di agama saya! Ya Allah mengapa Engkau memberikan saya bakat yang diharamkan. Kalau saya merasa bosan sedikit saya langsung melukis tangan saya dengan gambar-gambaran saya. Maka dari itu, tingkat kebosanan sebuah kuliah bisa dilihat dari seberapa banyak gambar yang tergambar ditangan saya. Alhamdulilah selama dikuliah Bapak, tangan saya selalu bersih, tanpa noda gambar-gambar absurd.
Begitulah kira-kira isinya. ehhehe
Rabu, 06 Januari 2010
Indahnya Bendungan Terbesar di Indonesia
Hari Sabtu tanggal 2 Januari 2010. Saya dan keluarga saya pada pukul 7 pagi bertolak dari rumah kami di daerah BSD menuju kota Bandung. Biasanya untuk sampai ke kota Bandung butuh waktu 2 jam melewati jalan tol Cipularang. Namun, seperti yang sudah saya dan banyak orang duga sebelumnya, jalan bebas hambatan yang menghubungkan Jakarta Bandung ini padat. Butuh waktu 4 jam untuk keluar tol Pasteur. Dan seperti biasa, saya dan keluarga saya langsung menuju ke Dago Bawah, mengunjungi beberapa outlet langganan kami dan setelah lelah mengitari kota Bandung, kami makan siang di salah satu Restoran Sunda yang ada di Dago atas. Jika sudah letih dan perut pun sudah diisi biasanya itu adalah waktunya kami pulang, tapi mengingat waktu itu masih pukul 2 siang maka ibu saya menanyarankan untuk mampir ke Waduk Jatiluhur.
Tidak makan banyak waktu untuk mencapai waduk Jatiluhur. Karena jalan tol kearah Jakarta masih lenggang waktu itu. Sekitar 1 jam kita telah sampai di Waduk Jatiluhur.
Awalnya saya tidak begitu tertarik untuk melihat waduk Jatiluhur ini. Karena pada kenyataannya kami sekeluarga pergi kesini hanya untuk memuaskan rasa penasaran ibu saya dengan waduk terbesar di Indonesia.
Tidak hanya terpesona dengan fakta yang menyatakan bahwa waduk Jatiluhur adalah waduk terbesar di Indonesia. Namun fakta lain yang mengatakan bahwa ada arti dalam pemberian nama Jatiluhur. Pemberian nama Luhur, karena di sini terdapat bangunan-bangunan yang disimbolkan sebagai angka keramat bangsa Indonesia, yaitu 17-8-1945, di mana pompa hidrolik untuk saluran Tarum Barat berjumlah 17 buah, pilar pemegang pintu pengatur untuk meneruskan aliran ke daerah Walahar beserta menaranya berjumlah 8 buah, dan angka 45 ditunjukkan pada pembangunan pompa-pompa listrik untuk saluran Tarum Timur, agar lebih efisien dan efektif dibuat miring 45 derajat. Sayangnya saya tidak dapat masuk ke bendungan saat itu, karena tutup.
Setelah keluar tol Jatiluhur, hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai ke waduk yang dibangun di sungai Citarum. Untuk memasuki area waduk, tiap orang dikenakan biaya Rp7500 per orang dan tiap orang bisa menikmati rekrasi di kawasan wisata Jatiluhur. Sebenarnya ini adalah perjalanan pertama saya mengunjungi Jatiluhur. Saya tidak menyangka bendungan yang menyimpan jutaan air sebagai pembangkit listrik ini benar-benar indah.
Selain sebagai waduk terbesar di Indonesia, waduk Jatiluhur juga menyuguhkan panorama yang danau yang indah. Bendungan yang dibangun pada tahun 1957 ini memiliki luas 8.300ha dan dikelilingi oleh bukit-bukit yang hijau yang cantik. Bendungan yang menyerupai gaya bendungan terbesar di dunia ini tidak hanya sebagai sumber tenaga listrik dan penyedian air irigasi tetapi juga sudah menjadi sarana rekreasi. Berbagai permainan permainan ditawarkan seperti mendayung, selancar angin, ski air, dan sebagainya. Saya mencoba menaiki perahu nelayan yang menawarkan perjalanan ke penangkaran ikan di tengah waduk. Dan di tempat penangkaran ikan kita bisa membeli ikan yang ada disana, tidak hanya sekedar membeli kita juga bisa memancingnya.
Sayangnya, kami tidak bisa berlama-lama berada disana karena hujan rintik-rintik mulai membasahi. Saya dan keluarga pun langsung berlari ke mobil dan kembali menuju Jakarta.