14 Februari bagi cewek seusia saya selalu dirayakan dengan tiga cara, either mereka ngabisin malam romantis dengan pacar, atau adiknya pacar, atau orang tuanya pacar, atau pacar gelapnya pacar, pokoknya dilalui dengan romantis or mereka ngabisin waktunya untuk diri sendiri, makan sendiri, nonton sendiri, baca buku sendiri, bengong di taksi sendiri, pokoknya sibuk di kesendiriannya deh! Dan beberapa yang lainnya merasa asyik bermain dengan temannya. Ramai-ramai merayakan betapa sucks nya hidup sebagai single di usia dua puluh tahunan. Sedangkan saya, tepat berada di irisan paling kecil dan aneh dari ketiga diagram venn tersebut merayakan malam Valentine tahun ini dengan bekerja, meliput penampilan sebuah idol grup dari Jepang cabang Jakarta. Dan menurut saya 14 Februari lalu adalah malam paling aneh untuk saya.
Bukan karena saya single ataupun alasan lainnya. Malam itu cukup "aneh" untuk dikenang karena saya dalam keadaan yang cukup awkward. Karena 14 Februari pada Kamis malam lalu tepat di mingu pertengahan saya akan meninggalkan rutinitas saya. Valentine kali ini adalah hari yang menunjukkan kalau perjalanan saya menuju akhir rutinitas ini tinggal setengah lagi. Sisi melankolis saya enggak sanggup untuk enggak cukup perhatian dengan hal itu. Tapi syukurlah saya bisa menghabiskan malam Valentine itu dengan salah satu teman kantor saya... yang kalau saya perhatikan sama anehnya sama saya. He-he-he.
Layaknya ngobrol dengan teman-teman saya lainnya, setiap saya ngobrol sama anak ini percakapan kita selalu loncat-loncatan kemana kemari yang ujung-ujungnya berakhir kemasalah perjodohan.
"Gw enggak ngerti deh Git kenapa sih lo kayak kebelet banget harus punya cowok? Emang lo segitu penginnya nikah ya?"
"Gw sih yakin semua orang itu udah ada jodohnya"
"Dan gw sebenernya enggak terlalu gimana sih ama orang yang cinta-cintaan banget. Gw sih geli lho ngeliatnya. Gw mungkin nanti nikah sama orang yang yaudah emang kita sama pengin berumah tangga"
"Enggak tahu deh, mungkin 10 tahun lagi kali gw baru nikah"
Sebagai orang yang sangat overly attached dengan salah satu kata di film test pack : "Kita nikah bukan karena anak kan neng? Kita nikah karena kita saling cinta" (pokoknya kira-kira begitulah. Itu saya anggap keren banget karena saya ngelihat gimana nikah itu perjanjian sehidup semati, saling jatuh hati satu sama lain udah jadi harga mati.)
Di otak saya, kalau kalian bisa sama-sama ngeliatnya, ada ratusan bahkan ribuan adegan cinta yang diam-diam saya harapkan jadi salah satu adegan saya nantinya.
Emang sulit sih di era teknologi dan social media yang merajalela saat ini mengharapkan satuuu aja adegan cinta itu terwujud. Generasi saya saat ini emang lack of romance and intimacy. Generasi saya generasi yang bisa sayang lewat percakapan di tab mention Twitter. Generasi saya meresmikan hubungannya dari realtionship status nya di Facebook. Generasi saya bisa menerima perhatian dari kata-kata manis dan sayang di messenger.
Walaupun begitu saya masih yakin sih kalau ada sebagian kecil dari generasi saya yang berusaha keras merangkai kalimat jadi surat untuk orang yang kasihi. Generasi saya masih ada yang pontang panting, jatuh bangun, buat orang yang dicintainya juga jatuh hati. Dan keyakinan saya yang membuat saya terus berekspektasi dengan adegan-adegan goofy romantic milik saya nanti. Mengutip kata-kata seorang komedian Youtube, Ryan Higa:
"when you find the one that you really in love with, every expectation became reality"
So, please, don't give up people!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar